Sabtu, 12 Februari 2011

Banta Seudang


https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEix8DtOSnEfSx_myxMbA6-XoCcA7F9zBag277SMZBp5onxJg2a3GqhUbNKvlRXpUwX3-HRvbySpcXHBphdAJ9kaTsBIqjPGvyVJrAqbiCn7zPdM7j2B6Rmr2tBwLOo9ALQvJnYrEwNODd0/s320/Banta+Seudang.jpg
Pada zaman dahulu, tersebutlah se­orang raja yang memimpin wi­­la­yah Aceh. Sang Raja memimpin negeri dengan adil dan bijaksana. Ia di­dampingi oleh permaisuri yang cantik je­lita dan berhati mulia. Sang Raja dan Per­maisuri hidup berbahagia. Apalagi Per­maisuri sedang mengandung anak per­­tama mereka. Setelah sembilan bul­an, sang Permaisuri melahirkan seorang bayi laki-laki yang tampan. Betapa ba­­hagia­­nya sang Raja. Calon penggantinya kelak telah lahir. Bayi tersebut kemudian dinamakan Banta Seudang.


Belum genap satu bulan usia Banta, tiba-tiba sang Raja sakit. Badannya panas dan matanya menjadi buta. Cobaan itu amat me­nye­dih­kan sang Raja dan Permai­suri. Be­be­rapa tabib telah dipanggil untuk mengobati sang Raja. Namun, semua usa­­ha tabib tak membuahkan hasil. Sang Raja amat resah. Bila ia masih buta, tentu tidak leluasa me­mimpin rakyatnya, pada­hal pu­tra­nya masih bayi. Ia khawatir rakyat­nya akan telantar. Maka sang Raja me­nye­rah­kan tampuk ke­kua­saannya kepada adik­nya sampai Ban­ta dewasa.

Rupanya adik Raja sangat jahat. Tak lama setelah kekuasaan diserahkan kepa­­­da adik Raja, ia menyuruh Raja dan keluarga­nya tinggal di sebuah rumah se­der­­hana yang letak­nya jauh dari istana. Ia se­­­­nga­ja mengasingkan ke­luarga Raja agar ia dapat selamanya berkuasa. Setiap hari, adik Raja mengirimkan satu tabung bambu beras bersama ikan dan sayuran sebagai jatah makan untuk ke­luarga itu. Kehidupan Raja dan ke­luarganya yang dulu ber­­kecukup­an berubah menjadi ke­kurangan. Mereka harus bergantung kepada pemberian adik Raja. Kadang-kadang, adik Raja tak me­ngirimkan jatah sama sekali sehingga ke­luarga Raja kelaparan. Namun demikian, sang Raja dan Permaisuri tetap bersabar. Mereka yakin, siapa yang berbuat jahat, sua­tu saat akan menerima hukumannya.

Waktu terus berlalu. Banta pun tum­­buh dalam keadaan serba kekurangan. Ia tum­buh menjadi pemuda tampan yang pembe­ra­ni, jujur, dan tahu sopan santun. Ia pun tahu pen­­deritaan yang dialami ke­luarga­­­nya aki­bat kejahatan pakciknya sendiri. Lama-kelamaan, Banta tidak tega menyaksikan pen­deritaan keluarganya. Apalagi saat me­lihat ayahnya yang buta. Ia bertekad akan men­carikan obat untuk ayahnya.

“Ayah, Ibu, Banta ingin sekali merantau guna mencari obat bagi ayah,” kata Banta. Raja dan Permaisuri melepaskan ke­per­gian Banta dengan doa.

Singkat cerita, Banta sampai di se­­buah hutan. Suatu saat, ia salat dan men­­­­jadi makmum seorang aulia. Selesai salat, Banta bercerita kepada aulia itu bahwa ia ingin mencari obat bagi ayahnya yang buta. Aulia itu menyarankan untuk mengambil bunga bangkawali yang terdapat di sebuah kolam sebagai obat bagi ayah Banta.

Maka berjalanlah Banta menuju hutan yang dimaksud oleh aulia itu. Rupanya di tengah hutan itu terdapat sebuah taman yang indah dengan sebuah kolam berair jernih dan sebuah gubuk sederhana. Di dalam gubuk itu tinggal Mak Toyo, pen­jaga taman itu. Sebenarnya, taman itu milik seorang raja yang tinggal amat jauh dari hutan itu. Sang Raja memiliki tu­­juh putri yang semuanya berparas cantik. Konon, setiap putri itu memiliki baju ajaib. Bila baju itu dikenakan maka orang yang me­­ma­kainya dapat terbang seperti burung.

Banta kemudian tinggal bersama Mak Toyo. Setiap hari ia merawat ta­man itu. Suatu Jumat, tujuh putri Raja mandi di kolam. Banta amat terpesona de­ngan ke­­cantikan mereka. Saat mereka ber­isti­ra­hat, Mak Toyo turun ke kolam, kemu­dian me­nepuk air tiga kali. Tiba-tiba muncul bu­nga bangkawali.

“Mak, bolehkah bunga bangkawali itu kuminta untuk obat ayahku?” pinta Banta.

Mak Toyo memberikannya. Betapa se­­­nang hati Banta. Ia ingin segera pulang. Na­mun sebelumnya, ia ingin menikahi salah satu putri Raja. Maka Banta menunda ke­pulangannya.

Hari Jumat berikutnya, ketujuh putri Raja itu kembali mandi di kolam. Saat me­reka mandi itulah, diam-diam Banta men­curi salah satu baju terbang mereka yang tergeletak di atas batu. Saat ketujuh putri itu ingin pulang, mereka ke­bingungan ka­­rena baju terbang si Bungsu hilang sehing­ga tak bisa pulang. Terpaksa si Bung­su ting­gal bersama Mak Toyo.

Setelah beberapa lama tinggal di ru­mah Mak Toyo, si Bungsu jatuh cinta pada Banta yang baik hati itu. Demikian pula Banta. Keduanya kemudian menikah. Be­be­rapa hari setelah pernikahan, Banta meng­­­­­ajak si Bungsu dan Mak Toyo me­ne­mui orangtuanya. Tak lupa, bunga bang­kawali ia bawa serta.

Kedatangan Banta disambut gem­bi­r­a oleh Raja dan Permaisuri. Banta segera meng­­­­ambil semangkuk air. Bunga bangka­wa­li ia rendam di dalamnya, kemudian air­­­­nya dikompreskan ke wajah sang Ayah. Tak lama kemudian, ayahnya dapat melihat kembali.

Keesokan harinya, ayah Banta datang ke istana menemui adiknya. Melihat ke­­datangan kakaknya yang tidak buta lagi, sang Adik amat gugup. Ia juga merasa ber­salah karena telah menelantarkan kakak beserta keluarganya itu.

“Maafkan saya, Bang. Selama ini sa­ya telah menelantarkan keluarga Abang. Sekarang saya serahkan kembali tahta Abang,” kata sang Adik.

Ayah Banta pun kembali menjadi raja. Banta hidup berbahagia bersama ayah ibu beserta istrinya dan Mak Toyo. Bebera­pa waktu kemudian Banta dilantik menjadi raja menggantikan ayahnya. Ia memimpin negeri dengan adil dan bijaksana.

Pakcik: paman.

0 komentar:

Posting Komentar