Selasa, 15 Februari 2011

JENIS-JENIS PUISI


Sumber: http://endonesa.wordpress.com

Menurut zamannya, puisi dibedakan atas puisi lama dan puisi baru. 

PUISI LAMA
Ciri-ciri puisi lama:
  • Merupakan puisi rakyat yang tak dikenal nama pengarangnya.
  • Disampaikan lewat mulut ke mulut, jadi merupakan sastra lisan.
  • Sangat terikat oleh aturan-aturan seperti jumlah baris tiap bait, jumlah suku kata maupun rima.
Yang termasuk puisi lama adalah:
  • Mantra adalah ucapan-ucapan yang dianggap memiliki kekuatan gaib.
  • Pantun adalah puisi yang bercirikan bersajak a-b-a-b, tiap bait 4 baris, tiap baris terdiri dari 8-12 suku kata, 2 baris awal sebagai sampiran, 2 baris berikutnya sebagai isi. Pembagian pantun menurut isinya terdiri dari pantun anak, muda-mudi, agama/nasihat, teka-teki, jenaka.
  • Karmina adalah pantun kilat seperti pantun tetapi pendek.
  • Seloka adalah pantun berkait.
  • Gurindam adalah puisi yang berdirikan tiap bait 2 baris, bersajak a-a-a-a, berisi nasihat.
  • Syair adalah puisi yang bersumber dari Arab dengan ciri tiap bait 4 baris, bersajak a-a-a-a, berisi nasihat atau cerita.
  • Talibun adalah pantun genap yang tiap bait terdiri dari 6, 8, ataupun 10 baris.

PUISI BARU
Puisi baru bentuknya lebih bebas daripada puisi lama, baik dalam segi jumlah baris, suku kata, maupun rima. Menurut isinya, puisi baru dibedakan atas:
  • Balada adalah puisi berisi kisah/cerita.
  • Himne adalah puisi pujaan untuk Tuhan, tanah air, atau pahlawan.
  • Ode adalah puisi sanjungan untuk orang yang berjasa.
  • Epigram adalah puisi yang berisi tuntunan/ajaran hidup.
  • Romance adalah puisi yang berisi luapan perasaan cinta kasih.
  • Elegi adalah puisi yang berisi ratap tangis/kesedihan.
  • Satire adalah puisi yang berisi sindiran/kritik.

Jenis Puisi

Menurut zamannya, puisi dibedakan atas puisi lama dan puisi baru.

PUISI LAMA

Ciri-ciri puisi lama:

    * Merupakan puisi rakyat yang tak dikenal nama pengarangnya.
    * Disampaikan lewat mulut ke mulut, jadi merupakan sastra lisan.
    * Sangat terikat oleh aturan-aturan seperti jumlah baris tiap bait, jumlah suku kata maupun rima.

Yang termasuk puisi lama adalah:

    *Mantra adalah ucapan-ucapan yang dianggap memiliki kekuatan gaib.
    *Pantun adalah puisi yang bercirikan bersajak a-b-a-b, tiap bait 4 baris, tiap baris terdiri dari 8-12 suku kata, 2 baris awal sebagai sampiran, 2 baris berikutnya sebagai isi. Pembagian pantun menurut isinya terdiri dari pantun anak, muda-mudi, agama/nasihat, teka-teki, jenaka.
    *Karmina adalah pantun kilat seperti pantun tetapi pendek.
    *Seloka adalah pantun berkait.
    *Gurindam adalah puisi yang berdirikan tiap bait 2 baris, bersajak a-a-a-a, berisi nasihat.
    *Syair adalah puisi yang bersumber dari Arab dengan ciri tiap bait 4 baris, bersajak a-a-a-a, berisi nasihat atau cerita.
    *Talibun adalah pantun genap yang tiap bait terdiri dari 6, 8, ataupun 10 baris.

PUISI BARU

Puisi baru bentuknya lebih bebas daripada puisi lama, baik dalam segi jumlah baris, suku kata, maupun rima. Menurut isinya, puisi baru dibedakan atas:

    * Balada adalah puisi berisi kisah/cerita.
    * Himne adalah puisi pujaan untuk Tuhan, tanah air, atau pahlawan.
    * Ode adalah puisi sanjungan untuk orang yang berjasa.
    * Epigram adalah puisi yang berisi tuntunan/ajaran hidup.
    * Romance adalah puisi yang berisi luapan perasaan cinta kasih.
    * Elegi adalah puisi yang berisi ratap tangis/kesedihan.
    * Satire adalah puisi yang berisi sindiran/kritik.

Puisi S. Rukiah Sastrawati Angkatan’45
Oleh A.Kohar Ibrahim
Selasa, 28 Agustus 2007 06:50 - Terakhir Diupdate Selasa, 28 Agustus 2007 07:32

Nama sastrawati terkemuka Indonesia yang langka seperti S. Rukiah itu memang tak mungkin sirna dari ruang ingatan saya. Apalagi, baru-baru ini nama yang telah punya andil mengharumi sejarah Republik Indonesia, khususnya sejarah kesusastraan bangsa kita itu, terkaitkan oleh berita telah berpulangnya seorang tokoh pejuang kemerdekaan seangkatannya. Sosok tokoh yang juga kekasihnya dan kemudian menjadi suaminya. Sang pejuang kemerdekaan. Angkatan’45 yang sejati itu adalah Sidik Kertapati.  Yang meninggal dalam usia 87 tahun, tanggal 2 Juli 2007 yang lalu di Jakarta.

Puisi S. Rukiah Sastrawati Angkatan’45
Oleh: A.Kohar Ibrahim

DALAM suasana Agustusan tahun 2007 ini, di samping mengenang para penyair kemerdekaan– dari Chairil Anwar yang tergolong Angkata’45 sampai pada penyair Pro-demokrasi seperti Wiji Thukul – patutlah pula dicatat-ingat sastrawati Angkatan’45 seperti S. Rukiah dan Rivai Apin.
Nama sastrawati terkemuka Indonesia yang langka seperti S. Rukiah itu memang tak mungkin sirna dari ruang ingatan saya. Apalagi, baru-baru ini nama yang telah punya andil mengharumi sejarah Republik Indonesia, khususnya sejarah kesusastraan bangsa kita itu, terkaitkan oleh berita telah berpulangnya seorang tokoh pejuang kemerdekaan seangkatannya. Sosok tokoh yang juga kekasihnya dan kemudian menjadi suaminya. Sang pejuang kemerdekaan Angkatan’45 yang sejati itu adalah Sidik Kertapati.  Yang meninggal dalam usia 87 tahun, tanggal 2 Juli 2007 yang lalu di Jakarta.
Baik S. Rukiah maupun Sidik Kertapati sempat saya kenal secara langsung. Keduanya pernah menjadi penginspirasi untuk sebuah karya fiksi-realistis berupa cerpen berjudul „Yang Mencintai Cinta“. Salah sebuah karya yang pernah disiar beberapa media massa, termasuk, dan juga mengisi antologi tulisan bersama: „Teragedi Kemanusiaan“ (terbitan Lembaga Sastra Pembebasan & Malka, September 2005). Jika Sidik Kertapati, yang juga penulis buku berjudul „Sekitar Proklamasi Agustus 1945“ itu 1 / 3


Puisi S. Rukiah Sastrawati Angkatan’45
Oleh A.Kohar Ibrahim
Selasa, 28 Agustus 2007 06:50 - Terakhir Diupdate Selasa, 28 Agustus 2007 07:32

namanya takkan terhapuskan dalam perjuangan untuk kemerdekaan bangsa dan berdirinya Republik Indonesia terutama sekali sebagai sosok tokoh perpolitikan, S. Rukiah pun namanya takkan terhapuskan terutama sekali dalam sejarah kesusastraan Indonesia. Bagi saya sendiri, memang, penghargaan utama saya terhadap S. Rukiah terutama sekali karena karya-karya sastranya, baik prosa mupun puisi. Dan dalam bentuk puisi, saya amat terpikat pada karyanya berjudul „Kenangan Gelita.“ Dalam mana ada baris baris kata puitisnya yang menyiratkan „manusia yang mencintai cinta.“ Cinta dalam artian luas, yang sekaligus bermakna mencintai cita-cita yang luhur.

Ringkas kata, seperti halnya para sastrawan senior lainnya seangkatan Pramoedya dan Rivai Apin, S. Rukiah saya anggap selain sebagai kawan seperjuangan juga guru saya sekaligus. Begitulah, ketika setelah sekian puluh tahun tak bisa jumpa lagi, lantas saya dikejutkan oleh khabar bahwa sastrawati kelahiran Purwakarta 25 April 1927 ini telah meninggal dunia di kota kelahirannya itu pada tanggal 7 Juni 1996. Ketika menurunkan tulisan bejudul "In memoriam S. Rukiah Kertapati" untuk Kreasi nomor 27 1996, saya dahului dengan mengutarakan baris-baris sajak Kemungkinan-nya :
Begini, begini perjuangan sekelompok manusia / merah padaku menggores, seperti cetusan api berkilat : Keras! / Tapi mungkinkah ini bertemu dengan kata-kata keemasan / sebelum datang
waktu bertobat / pada penghabisan pengadilan hari kiamat! Saat menyusun catatan ringkas tersebut saya benar-benar merasa terenyuh, hingga tak sanggup untuk melengkapinya dengan kutipan sajaknya yang lain, yang juga saya senangi.
Yang berjudul Tanah Air :
(I)
Hanya senyumanmu saja / suram mendalam. / Selainnya masih gelap berselubung / tak kenal
bintang. / Sedang hari baru tiba kepada senja!
Ini aku tidak tahu / haruskah aku nantikan Engkau / dengan bercermin di langit mendung
melalui malam kelam / yang belum tentu ia berbulan?!
2 / 3


Puisi S. Rukiah Sastrawati Angkatan’45
Oleh A.Kohar Ibrahim
Selasa, 28 Agustus 2007 06:50 - Terakhir Diupdate Selasa, 28 Agustus 2007 07:32

(II) Lihat! Alam tiada semarak lagi / Langit tinggal bayangnya saja / melengkung curam! Di situ rupanya penuh bertimbun kekayaan. / Surga! Begitu tiap manusia bilang / tapi bila datang kebinasaan / dari kedahsatan benci dan pembunuhan / di situ, di situ pula kita terpelanting / ke dalam jurang!
Jika begini / tak ada lagi yang tampak menguak harapan / hanya itu senyumanmu saja / yang suram mendalam. / sedang hari baru tiba kepada senja!

(III) kekasihku, / di sini, di antara bunga-bunga kuncup yang belum tahu / warna serta wanginya ini / dengan bercermin di kabut mendung ini / akan kunantikan Engkau / sampai hariku satu-satu berlepasan!
Kapan itu selubung gelap pecah terbuka / dan kapan lagi itu / bayangan bulan yang kecut muram jadi ketawa / menyentakkan layar malam bertemu dengan matari / mengulur pagi bercinta? Dalam kemestian melalui malam ini / aku tidak peduli kepada jam mati / yang lupa akan detikan, / Cuma itu saja: senyumanmu! / suram mendalam / bayang kurban kebengisan kubuat jadi pedoman! PUISI S. Rukiah itu begitu menyentuh hati dan pikiran saya sejak dulu. Sejak saya merasa sayang-hormat kepadanya selaku sastrawati senior sekaligus pemberi sajian rohani yang begitu mendasar, mendalam lagi meluas wawasannya. Puisi-puisinya yang saya senangi seakan-akan tak mengenal ruang dan waktu, senantiasa segar dan aktual. Sarat akan kebenaran. Karenanya indah. Keindahan menyanyikan lagu manusia yang manusiawi. Sekalipun ditulis dan dimuat dalam majalah Mimbar Indonesia tahun 1949. *** (Akibr) 3 / 3

Romantika Sastra Indonesia
(bagian 2)

Bersamaan dengan api kemerdekaan ditahun 1945, Angkatan 45 lewat karyanya telah
menyulut hiruk-pikuk nada kemenangan dan semangat nasionalisme kedalam rakyat Indonesia. Chairil Anwar, pria eksentrik kelahiran medan yang kita kenal sebagai figur pelopor puisi modern Indonesia, telah berperan dalam membangun vitalitas dan semangat rakyat yang baru saja mengecap udara kemerdekaan itu. Akan terlihat jelas gairahnya yang tak tertampung oleh pikiran dan sikap yang sekadar rasional dalam puisinya yang berjudul “Aku” berikut ini,

Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
…Dan aku akan lebih tak peduli
…Aku mau hidup seribu tahun lagi

Karya-karyanya yang lain adalah: Deru Campur Debu, Tiga Menguak Takdir (kerja bareng dengan Asrul Sani dan Ribai Apin), dan Kerikil Tajam. Diakhir masa keemasannya, Chairil Anwar dituduh telah memplagiat sejumlah karya asing untuk menginspirasi karyanya. Walaupun terkesan ndableg, dimata rakyat beliau termasuk figure yang sangat dihormati dalam usahanya sebagai penyambung lidah rakyat kedua (setelah Soekarno). Mungkin yang paling malang nasibnya adalalah Pramoedya Ananta Toer, sosok kelahiran Blora yang diasingkan ke Pulau Buru akibat alasan politik. Beliau adalah sarjana dan peminat sastra yang tekun meneliti karya-karya sastra dan pemikiran Presiden Soekarno. Akibatnya, beliau harus membayar mahal dengan cara dikucilkan di Pulau Buru oleh rezim Orde Baru dan pelarangan publikasi semua karya yang pernah ditulisnya pada masa pemerintahan Presiden Soeharto. Salah satu maha karyanya adalah Tetralogi Buru yang ditulisnya semasa dalam pembuangannya. Kumpulan empat novel tersebut menguak sejarah terbentuknya bangsa Indonesia dengan segala kompleksitasnya, dan termasuk apa artinya menjadi seorang Indonesia bagi seorang petani, pelacur, pemuda, istri, wartawan, polisi hingga preman. Karya tersebut telah menimbulkan bergagai macam kontroversi bagi dalam dan luar negeri. Bagi pemerintah Orde Baru, karya tersebut dianggap telah mencaci-maki bangsa dan pemerintah, namun mendapat dukungan luar biasa dari mata internasional. Tanggal 13 Oktober 1981, Kejaksaan Agung Republik Indonesia membakar secara massal dua jilid pertama dari Tetralogi Buru yang dicalonkan dunia sebagai pemenang hadiah Nobel. Tidak jelas apakah beliau dapat dikategorikan sebagai salah satu pendukung Angkatan 66, sebab Angkatan 66 mempunyai dua konotasi tersendiri, yaitu golongan sayap kanan (pengikut Soekarno) dan golongan sayap kiri (pengikut Soeharto).
Saya tidak akan menulis banyak tentang sastra Indonesia dimasa Orde Baru, karena saya merasa bahwa anda sekalian sudah tahu pokok masalahnya. Yang lucu adalah sastra Indonesia diawal abad ke 21 ini. Kira-kira angkatan apa yang kita punyai sekarang? Apakah Angkatan Reformasi, atau Angkatan Milenium, ataukah Angkatan Gonta-ganti Presiden? Silahkan berpikir!
(Habis) Henry C. Nugroho University of Maryland, College Park suryanet@hotmail.com


Sastrawati S. Rukiah Keteladanan Yang Langka
Oleh Oleh: A.Kohar Ibrahim
Rabu, 29 Agustus 2007 06:43 –

Sastrawati S. Rukiah Keteladanan Yang Langka
Dalam Kreativitas Sastra
Oleh: A.Kohar Ibrahim

BENAR.  S. Rukiah memang salah satu sosok sastrawati  yang saya sayang-hormati dan menjadi teladan. Keteladanan bukan saja dalam kreativitas, tetapi juga dalam pembinaan idaman-impian saya akan sosok perempuan yang ideal. Perempuan dengan segala keperempuannya. Berkenaan dengan kepribadian seorang sastrawati seperti S. Rukiah, saya akui bahwa memang tidak bisa tidak mencatat aktivitas dan kreativitasnya dalam memoar pribadi saya sendiri. S.Rukiah yang pernah menjadi sekretaris dan anggota redaksi Pujangga Baru pimpinan Sutan Takdir Alisjahbana bersama para pengarang lainnya seperti Cahiril Anwar, Rivai Apin, Asrul Sani, Achdiat Karta Mihardja, Dodong Djiwapradja, Harijadi S. Hartowardojo dan lain-lainnya lagi. S.Rukiah yang kemudian menjadi anggota pengurus pusat Lembaga Sastra Indonesia, Lekra. Menjadi redaktur penerbit Yayasan Kebudayaan Sadar sekaligus mengelola majalah untuk anak-anak "Kutilang" dari penerbit yang sama. S.Rukiah yang selain menulis puisi juga menulis esei dan cerpen,  dengan buku-bukunya yang telah diterbitkan: Tandus (Balai Pustaka, 1952), Kisah Perjalanan Si Apin (Grafica), Teuku Hasan Djohan Pahlawan (Grafica 1957), Kejatuhan dan Hati (Balai Pustaka, 1959), Djaka Tingkir (Balai Pustaka, 1962). 1 / 4

Sastrawati S. Rukiah Keteladanan Yang Langka
Oleh Oleh: A.Kohar Ibrahim
Rabu, 29 Agustus 2007 06:43 -
Pakar tentang sastra Indonesia yang terkemuka, Prof. A. Teeuw telah memberikan catatan sepantasnya mengenai kreativitas S.Rukiah, terutama dua bukunya yang masing-masing berjudul Tandus dan Kejatuhan dan Hati. Yang kedua itu itu merupakan kisah yang bersifat otobiografis dan yang secara otentik menggambarkan wanita modern Indonesia dengan segala problematikanya. Seorang pakar muda Inggris, Annabel Teh Gallop, bukan saja telah membuat catatan  melainkan bahkan mengangkat karya-karya S. Rukiah sebagai bahan disertasi. Sedangkan penyair dan sastrawan sekaligus juga pakar sastra Indonesia dan Sunda Ajip Rosidi dalam bukunya Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia, selain menyatakan bahwa di antara pengarang wanita yang tak banyak itu, hanya S. Rukiah yang dikenal baik sebagai penulis prosa maupun puisi. Juga menandaskan: "Bahkan sajak-sajaknya yang dimuat dalam bukunya Tandus (1952)  mendapat hadiah sastra nasional B.M.K.N. tahun 1952 untuk puisi." Tulis Ajip, seraya menambahkan: "Tapi sebenarnya ia lebih berhasil sebagai pengarang prosa. Kecuali cerpen-cerpen yang juga dimuat dalam Tandus, ia menulis sebuah roman yang berjudul Kejatuhan dan Hati (1950). Dalam kisah itu dilukiskannya perasaan seorang wanita yang jatuh cinta kepada seorang politikus tetapi kemudian terpaksa kawin dengan pedagang pilihan ibunya."
Saya ingin menggaris-bawahi hal-ihwal yang diutarakan baik oleh pakar Belanda A. Teeuw maupun pakar Indonesia Ajip dalam kaitannya dengan karya tulis Kejatuhan dan Hati S. Rukiah itu. Yakni betapa signifikannya makna sebuah hasil seni sastra yang memihak atau yang engage itu. Bahwa apa yang diungkapkan oleh S. Rukiah adalah benar karena bertolak dari realitas yang dipadu dengan daya imajinasi dalam menciptakan karya fiksi yang otobiografis! Hingga kebenaran yang diungkap dan tersajikan dalam karya sastra itu menjadi kebenaran tersendiri di alam dunia sastra.
Ada kebenarannya memang, bahwa sampai pada masa karya itu ditulis, adalah perjuangan kaum wanita modern dengan segala problematikanya seperti sikap-pendirian orangtua (ibu) yang bertabrakan dengan sang anak. Hal mana kiranya, sekalipun sudah setengah abad sejak itu, sikap-pendirian sedemikian itu masih hidup sampai pada saat ini. Sekalipun Indonesia sudah mengenal Hak-hak Azasi Manusia sejak pada mulanya. (HAM dari PBB sudah di-Indonesia-kan dan diterbitkan sejak 1950). Yang menarik lainnya, juga benar dalam kenyataannya, sang tokoh kisah Kejatuhan dan Hati 2 / 4
Sastrawati S. Rukiah Keteladanan Yang Langka
Oleh Oleh: A.Kohar Ibrahim
Rabu, 29 Agustus 2007 06:43 –

itu memang jatuh cinta pada seorang politikus. Yang dalam kehidupan nyata senyatanya
adalah Sidik Kertapati, salah seorang sosok penjuang Angkatan'45 dan sosok tokoh di zaman Sukarno. Yang menjadi suami Rukiah beneran. Itulah realita-nya. Namun dalam karya fiksi otobiografis itu, yang mengawini tokoh utama adalah seorang pedagang!
Maka, bagi saya, S. Rukiah dengan karyanya itu, bukan saja telah memberikan contoh yang jelas tegas mengenai seniman-seniwati engage tapi juga telah memberi keteladanan dalam penulisan karya fiksi yang otobiografis. Seperti contoh-contohnya adalah karya prosa dan puisi yang saya sebutkan dia tas itu.
Iya. Saya ulang-bilang atau garis-bawahi bahwa dalam kreativitas seni sastra, baik dalam bentuk prosa maupun puisi, dalam memilih mengungkapkan tema sekalian cara-gaya-nya, bagi saya S Rukiah merupakan teladan. Suatu keteladanan yang langka di dalam lembaran sejarah kesusastraan Indonesia. Hal mana telah-lebih jauh menggelitik hati dan pikiran saya, hingga terasosiasi pada pekerja kebudayaan lainnya, seperti penyair 4 zaman: Hr. Bandaharo. Dengan kreasi puisinya yang erat berkaitan dengan keintimannya pada perempuan yang dikasih-sayanginya. Isterinya.
Sungguh menyedihkan, sungguh memprihatinkan memang, bahwa putera-puteri Agustus yang terbaik, pekerja kebudayaan pula, pada masa-masa kedewasaan dan kematangannya harus mengalami bencana dari kekuasaan tiranika. Yang membikin mereka terpinggirkan, terpenjara, terbuang dan tersiksa secara berkepanjangan. Tersiksa baik selama dalam tahan, dalam tanah buangan, eksilan, maupun setelah keluar; baik selama jaya-jayanya rezim lalim Orde Baru, maupun setelah kekuasaan itu tumbang, dan bahkan sampai sesudahnya. Bahkan, sampai sebagian dari mereka meninggal dunia pun ketidak-adilan masih terus mengikutinya. Mereka meninggal dunia, juga sekalian membawa dosa-dosa yang dicapkan oleh penguasa, malah masih diiringi rasa ketakutan dan prasangka yang buruk bahkan dari kalangan keluarga maupun para mantan kanca-konconya sendiri yang terkena racun fitnah, kecemburuan, kecurigaan dan kebencian yang tak tertuntaskan. Budaya dusta-fitnah, kebencian, kekerasan dan ketakutan yang ditumbuh-kembangkan rezim Orde Baru sudah sedemikian rupa parahnya dalam meracuni kehidupan masyarakat Indonesia, sepertinya sudah merupakan besi yang karatan. Racun budaya atau budaya racun warisan Orba itu bahkan bukan tak sedikit mengidapi sementara kaum keluarga para korbannya. Maka dari itulah, dalam melacak adanya gejala atau fenomena ke-des-integrasi-an, ke-kurang 3 / 4

Sastrawati S. Rukiah Keteladanan Yang Langka
Oleh Oleh: A.Kohar Ibrahim
Rabu, 29 Agustus 2007 06:43 –

atau bahkan ke-tidak-rukunan kehidupan kekeluargaan diantara kalangan mantan tapol Orba, seharusnya diingat segi ini pula. Termasuk di dalamnya perihal  ketragisan yang dialami pasangan Eska-Rukiah – dalam periode akhir perjalanan hidup mereka. Suatu ktragisan yang kontras dengan kemonumentalan hasil aktivitas-kreativitasnya yang cemerlang. ***
Catatan:
Selain pelukis, A.Kohar Ibrahim juga penulis prosa dan puisi serta ragam macam esai
seni-budaya. Berkas-berkas tulisannya bertebar di berbagai media massa cetak & elektronika. Sejumlah diantaranya diterbitkan dalam bentuk buku individual maupun bersama. Anatara lain:
“Sekitar Tempuling Rida K Liamsi”  – Telaah Puisi – edisi Sagang, Pekanbaru 2004. “Identitas Budaya Kepri” – edisi Dewan Kesenian Kepulauan Riau 2005. “Kepri Pulau Cinta Kasih” karya bersama Lisya Anggraini, edisi Yayasan Titik Cahaya Elka, Batam 2006. 4 / 4

Berkaitan dengan itu, dalam memahami puisi kita perlu melakukan langkah-langkah berikut.
1. Kita mencoba “mengembalikan” kata-kata dan tanda-tanda baca yang “dibuang” oleh penyair. Dengan kata lain, kita menambahkan kata-kata lain untuk melengkapi atau memperjelas kata-kata dalam puisi dan menambahkan tanda-tanda baca untuk memperjelas hubungan makna kata-kata tersebut.
2. Kita berusaha memahami kata-kata tertentu yang digunakan sebagai simbol, perbandingan, atau kiasan yang masih belum jelas maknanya.
3. Kita menguraikan isi puisi dalam bentuk prosa. Nah, bila sudah dalam bentuk prosa, kita dengan mudah dapat memahaminya.
Sebagai contoh, perhatikan cara memahami puisi berjudul “Dengan Puisi, Aku” karya Taufiq Ismail berikut ini.


DENGAN PUISI, AKU

Dengan puisi aku bernyanyi
Sampai senja umurku nanti
Dengan puisi aku bercinta
Berbatas cakrawala
Dengan puisi aku mengenang
Keabadian Yang Akan Datang
Dengan puisi aku menangis
Jarum waktu bila kejam mengiris
Dengan puisi aku mengutuk
Nafas zaman yang busuk
Dengan puisi aku berdoa
Perkenankanlah kiranya.

Agar lebih mudah dipahami, kita tambahkan tanda baca dan kata-kata tertentu yang sesuai, seperti di bawah ini. Kata-kata dan tanda-tanda baca tambahan kita letakkan di dalam kurung.

DENGAN PUISI, AKU

Dengan puisi (yang kutulis ini) aku bernyanyi
Sampai senja umurku nanti (.)
Dengan puisi (ini) aku bercinta
Berbatas cakrawala (.)
Dengan puisi (ini) aku mengenang
Keabadian Yang Akan Datang (.)
Dengan puisi (ini) aku menangis
(terutama) (saat) Jarum waktu bila kejam mengiris (.)
Dengan puisi (ini) aku mengutuk
Nafas zaman yang (berbau) busuk
(bahkan) Dengan puisi (ini) (pula) aku berdoa
(Tuhan) Perkenankanlah kiranya.

Setelah kita tambahkan tanda-tanda baca dan kata-kata yang sesuai, puisi di atas sudah semakin kelihatan maknanya meskipun belum jelas benar. Jika kata-kata kiasan yang terdapat dalam puisi tersebut kita jelaskan, makna puisi akan tampak lebih nyata. Kata-kata yang perlu kita jelaskan antara lain:
a. senja umurku, berarti ‘sampai umurku tua’;
b. berbatas cakrawala, berarti ‘sangat luas atau tidak ada batasnya’;
c. Keabadian Yang Akan Datang, berarti ‘kehidupan manusia pada masa datang yang abadi, yang akan dialaminya setelah kehidupan di dunia’;
d. Jarum waktu bila kejam mengiris, berarti ‘waktu akan membinasakan manusia yang tidak memanfaatkan sebaik-baiknya kesempatan hidup yang diberikan Tuhan kepadanya’;
e. Nafas zaman yang busuk, berarti ‘kondisi masyarakat yang penuh dengan kejahatan, kesesatan, kebobrokan, dan kemunafikan’.
Setelah menambahkan tanda-tanda baca dan kata-kata yang sesuai serta mengartikan sejumlah kata, kita uraikan makna seluruh puisi dalam bentuk prosa, seperti di bawah ini.
Dengan puisi yang kutulis ini aku ingin bernyanyi sampai umurku tua nanti. Dengan puisi ini aku bercinta, mencintai sesama tanpa batas. Dengan puisi ini aku mengenang kehidupanku yang abadi di masa datang, yakni kehidupan yang akan kualami setelah kematianku kelak. Dengan puisi ini aku menangis, terutama saat aku tidak bisa memanfaatkan kesempatan hidup yang diberikan Tuhan kepadaku. Dengan puisi ini aku mengutuk kondisi masyarakat yang penuh dengan kejahatan, kesesatan, kebrobrokan, dan kemunafikan. Bahkan, dengan puisi ini pula aku berdoa, dengan harapan Tuhan berkenan mengabulkannya.

Demikianlah cara yang dapat kita lakukan untuk memahami puisi. Cara tersebut sering disebut parafrase, yaitu pengungkapan dalam bentuk lain yang isinya kurang lebih tetap. Jika pengungkapan itu lebih panjang daripada aslinya, menurut Verhaar disebut perifrase. Karena itu, sebuah perifrase pastilah parafrase.

0 komentar:

Posting Komentar