'Jogja rukun karena ormasnya moderat'
Jum'at, 11 Februari 2011 14:54:15
JOGJA: Secara umum kehidupan antarumat beragama di kota Jogja relatif rukun dan terkendali jika dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia. Hal ini disampaikan oleh Zainal Abidin Bagir, Direktur Center for Religious and Cross-cultural Studies Universitas Gadjah Mada (CRCS UGM), usai temu wartawan bertajuk Evaluasi Kehidupan Beragama di Indonesia 2010 di Kantor Pusat UGM, Jumat (11/2).
Hal tersebut, kata Abidin, disebabkan oleh masyarakat sipil yang kuat serta pemerintah daerah yang senantiasa menyadari pentingnya toleransi. “Selain itu organisasi massa Islam yang berkembang di Jogja, sebagian besar moderat,” ujarnya.
Terkait kasus pengungsi Ganjuran di tahun 2010 yang sempat menimbukan polemik, Zainal menuturkan, permasalahan di antara keduanya tidak berlanjut ke jalur hukum.
Ia pun menambahkan, persoalan tentang keberagaman, tidak hanya meliputi aspek agama melainkan juga perbedaan orientasi seksual. “Tahun lalu, peringatan International Day Against Homophobia (IDAHO) di Alun-Alun Selatan dibatalkan karena ancaman pihak lain,” tandasnya.
Sebenarnya, sambung Zainal, yang menjadi pusat utama adalah semua orang yang termasuk dalam warga negara memiliki hak untuk berserikat dan berkumpul, tanpa memandang agama, suku, orientasi seksual, atau apapun juga.
Salah satu konsekuensi dari demokrasi, ia menguraikan, orang bebas berekspresi dan mengeluarkan pendapat, suka atau tidak suka. “Namun yang menjadi perhatian adalah jangan sampai ketidaksukaan itu berujung pada kekerasan dan merugikan pihak lain,” pungkasnya.(Harian Jogja/Switzi Sabandar)
Hal tersebut, kata Abidin, disebabkan oleh masyarakat sipil yang kuat serta pemerintah daerah yang senantiasa menyadari pentingnya toleransi. “Selain itu organisasi massa Islam yang berkembang di Jogja, sebagian besar moderat,” ujarnya.
Terkait kasus pengungsi Ganjuran di tahun 2010 yang sempat menimbukan polemik, Zainal menuturkan, permasalahan di antara keduanya tidak berlanjut ke jalur hukum.
Ia pun menambahkan, persoalan tentang keberagaman, tidak hanya meliputi aspek agama melainkan juga perbedaan orientasi seksual. “Tahun lalu, peringatan International Day Against Homophobia (IDAHO) di Alun-Alun Selatan dibatalkan karena ancaman pihak lain,” tandasnya.
Sebenarnya, sambung Zainal, yang menjadi pusat utama adalah semua orang yang termasuk dalam warga negara memiliki hak untuk berserikat dan berkumpul, tanpa memandang agama, suku, orientasi seksual, atau apapun juga.
Salah satu konsekuensi dari demokrasi, ia menguraikan, orang bebas berekspresi dan mengeluarkan pendapat, suka atau tidak suka. “Namun yang menjadi perhatian adalah jangan sampai ketidaksukaan itu berujung pada kekerasan dan merugikan pihak lain,” pungkasnya.(Harian Jogja/Switzi Sabandar)
0 komentar:
Posting Komentar