Rabu, 02 Februari 2011

Di Bali, Wisatawan Ikut Sembahyang Imlek

 DENPASAR, KOMPAS.com - Sejumlah wisatawan mancanegara dan nusantara yang tengah menikmati liburan di Bali ikut ambil bagian dalam persembahyangan Tahun Baru Imlek 2562  di Vihara Dharmayana Kuta, Kamis (3/2/2011) pagi. Demikian pula warga keturunan Tionghoa di kota Denpasar dan daerah lainnya di Bali yang memadati sejumlah vihara dan kelenteng, guna melakukan persembahyangan yang berlangsung secara khusuk dan khidmat.

Mereka mendatangi tempat suci itu secara silih berganti sejak Rabu malam, setelah sebelumnya memanjatkan doa memohon keselamatan di rumahnya masing-masing. Penanggungjawab Vihara Dharmayana Kuta, Indra Suarlin mengatakan, pihaknya membuka diri bagi wisatawan yang ingin melakukan persembahyangan berbaur dengan umat setempat.

Persembahyangan dalam beberapa gelombang itu dilakukan sesuai tradisi yang diwarisi secara turun temurun dan rangkaian kegiatan itu akan berlangsung hingga 17 Februari 2011 yang diakhiri dengan pembersihan diri (buang sial).

Penyalaan lilin, hiasan lampu (lampion), serta persembahan hidangan buah-buahan dan berbagai macam kue menjadi ciri khas perayaan Imlek di Vihara Dharmayana Kuta.

Persembahyangan di vihara yang memiliki koleksi lima barongsai dan dua naga itu umumnya berlangsung seperti hari-hari biasa. Namun, kali ini agak istimewa karena disertai dengan pemberian makanan khas kepada mereka yang dinilai berjasa dalam mengembangkan usaha maupun  kehidupan pribadi.

Perayaan Imlek, menurut  Indra Suarlin, tidak bisa dilepaskan dari lampion yang menghiasi setiap ruangan dan sudut vihara maupun klenteng di Bali.

Demikian pula "penjor tebu" menghiasi setiap pintu masuk pekarangan rumah warga keturunan Tionghoa dalam menyambut Tahun Baru Imlek 2562 di Pulau Dewata. Nuansa religius itu hampir mirip saat umat Hindu merayakan Hari Raya Galungan, hari kemenangan Dharma (kebaikan) melawan Adharma (keburukan).

Hal itu mencerminkan terjadinya pembauran dan toleransi kehidupan beragama yang semakin kokoh, hidup harmonis, berdampingan satu sama lainnya tanpa pernah terjadi konflik, tutur  Indra Suarlin. Salah seorang tokoh perwalian umat Budha di Bali itu menjelaskan, kerukunan hidup yang didasarkan atas kesadaran dan saling pengertian menghormati satu sama lain telah diwarisi secara turun temurun sejak 500 tahun yang silam.

Bali kini dihuni oleh penduduk berasal dari 30 etnis di Nusantara, termasuk keturunan Tionghoa serta warga dunia yang berasal dari sejumlah negara. Keragaman etnis dan "warna kulit" tersebut dikelola dan dijaga dengan baik dengan harapan seluruh warga tetap dapat hidup harmonis berdampingan satu sama lainnya tanpa menimbulkan masalah.

Harmoni keragaman tersebut disinergikan untuk menjadikan Bali aman damai dan sejahtera (Mandara) yang lebih dikenal masyarakat setempat dengan istilah "Ngardi Bali Shanti Lan Jagadhita", yakni tetap terpeliharanya Bali yang damai, aman dan tenteram.
  
Masyarakat Bali maupun etnis Tionghoa dan etnis dari berbagai daerah di Nusantara yang bermukim di Pulau Dewata, semakin menyadari bahwa, kemajemukan yang beragam dapat dikombinasikan dengan nilai-nilai positif sehingga menjadi satu hal yang indah, unik dan menarik.
  
"Kemajemukan tersebut sangat dihormati dan dihargai satu sama lain untuk kepentingan bangsa dan negara Indonesia, dengan harapan muncul satu kekuatan yang mampu mengantarkan bangsa Indonesia mencapai tujuan yang disepakati bersama, bukan sebaliknya menimbulkan gejolak," harap Indra Suarlin, mantan Ketua Walubi Bali.

0 komentar:

Posting Komentar